
Di balik geliat industri hasil tembakau (IHT) yang selama ini menjadi penyumbang terbesar bagi penerimaan negara, ada ancaman besar yang menghantui: shadow economy atau ekonomi bayangan. Aktivitas ilegal yang berjalan di luar sistem formal ini bukan hanya merugikan fiskal, tetapi juga melemahkan industri yang menyerap jutaan pekerja di Indonesia.
Data EY (Ernst & Young) tahun 2025 menunjukkan bahwa aktivitas shadow economy di Indonesia mencapai 23,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau setara Rp 5.500 triliun. Angka ini menempatkan Indonesia di posisi kedua tertinggi dari negara-negara yang di-review, hanya kalah dari India (26,1 persen). Potensi kehilangan penerimaan negara akibat aktivitas tersebut ditaksir mencapai Rp 500 triliun.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menegaskan bahwa ukuran shadow economy sangat ditentukan oleh kepastian hukum dan kualitas penegakan aturan di sebuah negara.
“Besarnya porsi shadow economy terhadap PDB dipengaruhi oleh kepastian dan penegakan hukum di suatu negara, semakin buruk kualitas penegakan hukum, maka akan semakin subur pula shadow economy bertumbuh,” ujar Wija kepada kumparan, Selasa (2/9).
Rokok Ilegal dan Hilangnya Potensi Rp 25 Triliun
Salah satu wajah paling nyata dari shadow economy di Indonesia adalah maraknya peredaran rokok ilegal. Rokok tanpa pita cukai ini makin mudah ditemukan di pasaran seiring kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang naik dari tahun ke tahun.
“Cukai yang tinggi membuat bisnis rokok ilegal makin menguntungkan. Dalam kata lain, konsekuensi peningkatan cukai rokok adalah semakin maraknya produsen rokok ilegal (tanpa cukai), sehingga penegakan hukum harus dilaksanakan dengan tegas; ini penting untuk menghindari kehilangan penerimaan negara yang masif,” jelas Wija.
Ia bahkan memperkirakan, dari rokok ilegal saja, negara berpotensi kehilangan penerimaan sebesar Rp 15-25 triliun per tahun.
Fenomena ini tidak bisa dianggap sepele. Di saat pemerintah masih mengandalkan cukai rokok sebagai penyumbang Rp 217 triliun ke kas negara, peredaran rokok ilegal justru terus menggerus penerimaan dan mengancam keberlangsungan industri legal.
Daya Beli Turun, Produksi Anjlok
Awal 2025, tren produksi rokok menurun tajam. Bukan hanya karena regulasi, tetapi juga faktor daya beli masyarakat. Wijayanto menyebut ada tiga alasan utama penurunan ini.
“Penurunan terjadi karena tiga hal yakni penurunan daya beli, beredarnya rokok ilegal, dan kebijakan CHT yg ketat,” katanya.
Di saat bersamaan, Purchasing Managers’ Index (PMI) industri hasil tembakau juga terkontraksi. Kondisi ini menggambarkan industri dalam tekanan serius, bahkan sebagian pekerja terancam kehilangan mata pencaharian.
“Penurunan ini terutama disebabkan oleh peredaran rokok ilegal, yang diperkirakan mencapai 15-20 persen pasar,” ujarnya.
Desakan Moratorium Cukai
Berbagai asosiasi pengusaha seperti Kadin dan Apindo telah meminta agar pemerintah menunda kenaikan CHT selama tiga tahun atau melakukan moratorium. Tujuannya memberi waktu bagi industri untuk beradaptasi.
“Kebijakan CHT, terutama jika dikaitkan dengan aspek kesehatan adalah bagus, tetapi perlu dipertimbangkan ulang timingnya; ekonomi sedang sulit, fiskal juga sedang sangat menantang. Yang juga perlu difokuskan adalah pemberantasan rokok ilegal,” ungkap Wija.
Meski demikian, ia menilai moratorium hanya bisa menjadi solusi sementara. Pemerintah tetap perlu menyusun kebijakan jangka panjang yang komprehensif dengan pendekatan teknokratis yang solid.
Selain isu cukai, dunia usaha juga menyoroti regulasi PP 28/2024 yang melarang toko ritel menjual produk tembakau dalam radius 200 meter dari sekolah. Asosiasi menilai aturan ini sulit diimplementasikan dan berpotensi menambah beban biaya sekaligus peluang pungutan liar.
Menanggapi hal ini, Wija menyebut bahwa deregulasi bisa membantu, tetapi harus fokus pada implementasi di lapangan.
“Deregulasi asal tidak berhenti pada peraturan tetapi harus berujung pada implementasi di lapangan dan berorientasi hasil bukan prosedur, akan membantu menekan aktivitas ekonomi ilegal,” katanya.
Menurutnya, menjaga jarak toko dengan sekolah hanya sedikit berpengaruh. Yang jauh lebih efektif adalah pengawasan ketat terkait usia minimum pembeli, sebagaimana diterapkan di banyak negara.
Bagi Wija, kebijakan cukai di Indonesia tidak bisa sepenuhnya meniru negara-negara maju. Alasannya sederhana yaitu struktur ekonomi berbeda.
“Kita harus realistis, tidak boleh begitu saja meniru kebijakan negara lain (misal: Singapura, Australia, NZ, Norway, UK, dll), karena negara-negara tersebut tidak memproduksi rokok, sehingga mengurangi konsumsi rokok artinya mengurangi impor yang ini bagus bagi PDB,” katanya.

Sementara di Indonesia, lebih dari lima juta keluarga menggantungkan hidup dari sektor ini. Artinya, kebijakan yang tidak tepat bisa memicu deindustrialisasi, perlambatan pertumbuhan, bahkan ledakan pengangguran.
Jalan Panjang Pemberantasan Shadow Economy
Di tengah tekanan fiskal dan ancaman kehilangan penerimaan negara, pemberantasan shadow economy menjadi “low hanging fruit” bagi pemerintah. Sasarannya jelas perjudian, penyelundupan, narkoba, dan peredaran rokok ilegal.
“Memberantas underground economy adalah kunci penting kemajuan ekonomi yang berkelanjutan,” tegas Wija.
Namun, pekerjaan rumah ini jelas tidak ringan. Penegakan hukum harus diperkuat, koordinasi lintas lembaga diperjelas, dan pengawasan di lapangan ditingkatkan. Jika tidak, potensi Rp 500 triliun penerimaan negara akan terus menguap ke ruang gelap shadow economy.