MI/Seno(Dok. Pribadi)
AKHIR November 2025, di tengah musim gugur yang perlahan menguningkan deretan pohon di jalanan Teheran, seorang profesor ahli lingkungan perairan Unhas, Makassar, berkunjung ke rumah. Ia datang di sela agenda seminar di Turki dan Iran. Sore itu kami berbincang santai di ruang tamu ditemani secangkir teh hangat. Namun, percakapan segera menjauh dari kehangatan menuju kenyataan yang jauh lebih dingin dan mengkhawatirkan.
Dengan raut wajah serius, ia mulai bercerita tentang mikroplastik, musuh kecil yang tak terlihat, tetapi perlahan merayap memasuki seluruh sendi kehidupan. Kini, ia tidak hanya ditemukan dalam ikan, daging, garam, air minum, dan air hujan. Bahkan, penelitian terbaru menunjukkan mikroplastik ditemukan juga dalam rumput laut, hasil alam yang selama ini dianggap salah satu sumber pangan paling bersih. "Jika rumput laut saja sudah tercemar," katanya pelan, "Apa lagi yang masih murni di laut?"
Belum sempat pikiran saya benar-benar mencerna pesan tersebut, kabar duka datang dari Tanah Air. Di Sumatra, banjir besar dan tanah longsor menghancurkan puluhan desa pada penghujung November 2025. Air bah membawa lumpur, batu, dan puing-puing rumah, ratusan orang kehilangan nyawa, dan ribuan lainnya mengungsi tanpa kepastian.
Para ahli menyebut bahwa hujan deras memang pemicunya, tetapi penyebab utamanya jauh lebih dalam: rusaknya hutan-hutan yang selama ini menjadi penyangga alami. Ketika pepohonan ditebang, tanah kehilangan kekuatan menahan air. Banjir Sumatra ialah potret retaknya hubungan manusia dengan alam. Sungai yang dulu tenang berubah menjadi gelombang destruksi karena kita mengabaikan perannya sebagai tubuh ekologis yang hidup.
Kedua peristiwa tersebut menyadarkan kita bahwa krisis lingkungan bukan kejadian yang terpisah-pisah. Ia adalah satu rangkaian panjang dari pola yang sama: pola keterputusan. Keterputusan antara manusia dan bumi, antara tindakan dan konsekuensi, serta antara kesadaran dan kehidupan sehari-hari. Di berbagai belahan dunia, fenomena serupa terjadi: gelombang panas ekstrem, krisis air, hilangnya keanekaragaman hayati, dan mencairnya lapisan es kutub. Seluruhnya merupakan simpul-simpul luka dari jaringan bumi yang sama.
Di titik inilah saya teringat pada satu hal yang kerap diabaikan dalam diskusi-diskusi ekologis: dimensi batin manusia. Pandangan ilmiah dapat memetakan kerusakan, menghitung dampak, dan memprediksi masa depan, tetapi ia jarang menjawab mengapa kita terus mengulangi pola yang sama. Mungkin, justru di tengah kebisingan data dan laporan krisis, kita membutuhkan sesuatu yang lebih dalam, sebuah cara memandang dunia yang menghubungkan kembali manusia dengan jantung kehidupannya sendiri.
Di sinilah gagasan-gagasan Rumi terasa relevan. Bukan sebagai dogma, bukan pula sebagai pelarian spiritual, melainkan sebagai pola kesadaran yang mengingatkan bahwa manusia tidak pernah berdiri di luar alam. Bagi Rumi, segala sesuatu saling berkelindan dalam satu tarikan napas kosmik; luka pada satu bagian akan menggema ke seluruh keberadaan. Cara pandang yang melihat manusia dan alam sebagai satu kesatuan inilah yang mungkin dapat membuka celah baru: sebuah kesadaran transendental yang tidak hanya meminta kita memahami bumi, tetapi juga merasakan getarnya. Dan mungkin, dari getar itulah lahir keberanian baru untuk merawat bumi yang semakin terluka.
TEORI EVOLUSI ETIKA LINGKUNGAN
Perjalanan gagasan manusia tentang alam sesungguhnya ialah cermin dari perjalanan manusia memahami dirinya sendiri. Pada tahap awal perkembangan manusia, alam dipandang secara antroposentris, manusia ialah pusat dari segala-galanya. Hutan dinilai dari kayunya, laut dari ikannya, gunung dari mineralnya. Nilai alam ditentukan sejauh mana ia dapat melayani manusia.
Namun, perkembangan pola pikir manusia membawa kita pada pemahaman bahwa cara pandang itu terbatas. Muncul biosentrisme dan ekosentrisme, yang menekankan bahwa semua makhluk hidup dan seluruh ekosistem memiliki nilai intrinsik. Alam bukan benda mati yang siap dieksploitasi, melainkan komunitas kehidupan yang saling bergantung.
Pada akhir abad ke-20, muncullah deep ecology yang mendorong manusia hidup lebih sederhana, menahan konsumsi, dan menghormati batas alam. Namun, bahkan pandangan itu belum cukup menjawab akar persoalan batin manusia. Dari sini, gagasan ekologi transpersonal muncul. Ia berangkat dari psikologi transpersonal dan fenomenologi, memandang bahwa relasi manusia dengan alam bukan hanya isu moral atau ilmiah, melainkan juga relasi eksistensial. Warwick Fox menyebut adanya tiga basis identifikasi: personal, ontologis, dan kosmologis. Ketika seseorang melampaui batas ego dan merasakan dirinya sebagai bagian dari jaringan kehidupan, maka merusak alam terasa identik dengan merusak dirinya sendiri.
MEMBACA RUMI MELALUI LENSA EKOLOGI TRANSPERSONAL
Untuk memahami bagaimana pemikiran Rumi dapat berbicara pada krisis ekologis masa kini, perlu menggunakan sebuah jembatan konseptual yang mampu menghubungkan pengalaman batin dengan realitas lingkungan. Di sini, teori ekologi transpersonal yang dikembangkan Warwick Fox dalam bukunya Toward a Transpersonal Ecology (1990) menawarkan kerangka yang sangat membantu. Fox menyebut bahwa manusia dapat memperluas identitas dirinya melalui tiga basis identifikasi: personal, ontologis, dan kosmologis. Ketiganya menjelaskan bagaimana seseorang dapat merasakan keterkaitan mendalam dengan alam hingga batas-batas yang melampaui ego konvensional.
Menariknya, ketiga pilar itu menemukan resonansi kuat dalam puisi-puisi Rumi. Bagi penyair besar dari Balkh itu, manusia bukan sekadar pengguna alam, melainkan juga bagian dari denyut kehidupan yang sama. Alam bukan objek, melainkan mitra yang merefleksikan kondisi batin manusia.
Pertama, pada basis personal yang menekankan empati ekologis, Rumi menggambarkan alam sebagai makhluk yang hidup dan peka. Dalam banyak bagian masnawi, ia menulis bahwa batu, angin, dan air memiliki kesadaran masing-masing. Dalam kitab Matsnawi jilid 3, bait 1019, Rumi bersenandung: 'Benda-benda di alam berkata: Kami mendengar, melihat dan bersukacita. Tapi sayang, kami bisu bagi mereka yang asing dari spiritualitas'. Ketika kita menyadari bahwa alam ialah subjek, bukan objek, empati ekologis akan lahir secara natural.
Kedua, pada basis ontologis, Rumi menekankan ajaran kesatuan wujud. Ia menggambarkan manusia dan seluruh alam berasal dari satu asal-usul yang sama, satu 'substansi kosmik' yang tak terpisahkan. Dalam Matsnawi jilid 1!bait 686-687, ia menyebutkan: 'Dulu kita merdeka, berasal dari entitas yang sama. Tanpa kepala dan kaki, di alam azali kita berjumpa. Kita adalah pertikel bak matahari, tanpa ikatan seperti air jernih'. Bagi Rumi, seluruh realitas di alam merupakan tajalli, cermin tempat Tuhan memanifestasikan keindahan-Nya. Dengan cara pandang itu, merusak alam ialah merusak cermin tersebut.
Ketiga, pada basis kosmologis, Rumi menggambarkan alam sebagai proses yang bergerak menuju kesempurnaannya. Dalam pandangannya, setiap helaan napas memperbarui dunia dan manusia meski sering kali kita merasa stagnan. Ia juga menggambarkan cinta sebagai energi gravitasi semesta.
Dalam kitab Divan-e Kabir, Ghazal ke 2674, Rumi berikrar: 'Seluruh wujud di alam adalah pencinta dan mereka semua rindu bersua. Jika tak mencintaimu langit, tak kan membentang cakrawala bening. Jika tak menyayangimu matahari, tak ada cahaya indah menyinari. Jika tanah dan gunung tak saling mencinta, tak kan tumbuh darinya pohon dan bunga. Jika tak menyayangimu laut, entah kan dibawa ke mana hidup'. Ini bukan romantisasi, melainkan cara spiritual memahami evolusi kosmik. Melalui seluruh ajaran itu, Rumi mengajak manusia untuk melihat alam bukan sebagai sumber daya, melainkan sebagai saudara kosmik. Alam bukan sekedar tempat yang kita tempati, melainkan bagian dari diri kita sendiri.
KESADARAN YANG MENYEMBUHKAN
Dalam momentum haul Rumi yang jatuh setiap 19 Desember, kita diingatkan bahwa spiritualitas bukan sekadar ritual dan doa, melainkan juga keberanian merawat kehidupan. Rumi mengajarkan bahwa 'setiap helaan napas ialah amanat', dan amanat itu kini menuntut kita membaca ulang tanda-tanda zaman, dari mikroplastik yang mencemari laut hingga banjir Sumatra yang menelan banyak jiwa. Refleksi haul ini menjadi panggilan untuk melihat bahwa kerusakan ekologis jauh melampaui persoalan teknis, tetapi kegagalan manusia untuk hadir secara sadar di bumi yang meminjamkan kehidupan kepadanya.
Rumi, melalui metafora-metafora lembutnya, menawarkan jalan pulang. Menyadari bahwa alam ialah bagian dari diri kita. Menyadari bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, mengubah resonansi kehidupan, seperti mengurangi sampah plastik, menana...

9 hours ago
4





















:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5379583/original/008279300_1760351169-Artboard_1_copy.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5348124/original/066186800_1757768591-persebaya.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5367784/original/099774300_1759313808-Sherhan-Kalmurza.jpg)




:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3452055/original/098840500_1620463632-1_000_PAR2003102509358.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5377474/original/052829700_1760096933-20251009_150527.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5393101/original/089772000_1761542167-Barcelona_s_Ferran_Torres_grabs_the_ball_as_Real_Madrid.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5390645/original/096170700_1761286290-ClipDown.com_563926211_18540188731051578_2003092661723966897_n.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5384175/original/038968800_1760759605-Infomedia.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3541805/original/050823500_1629106120-Liga_1_-_Ilustrasi_Logo_PSM_Makassar_BRI_Liga_1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5427425/original/007717300_1764386840-ENHYPEN.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5377919/original/002139400_1760168588-image_2025-10-11_144215799.jpg)

English (US) ·