Para Guru Diimbau Waspadai Fenomena 'Ketidakberpikiran' di Tengah Masifnya AI

9 hours ago 3
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN -- Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal kembali mengajak para guru untuk merenungkan arah pendidikan di tengah derasnya arus digital dan kecerdasan buatan (AI) yang kian mendominasi kehidupan. Hal itu juga sekaligus mencari jalan agar pendidikan Indonesia tetap memerdekakan pikiran dan menjaga masa depan bangsa.

Rizal menyoroti bahaya ketidakberpikiran, yaitu sebuah kondisi ketika manusia terjebak dalam rutinitas tanpa jeda untuk refleksi, sekadar mengikuti alur birokrasi dan algoritma digital. Menurut dia, fenomena ini kian berbahaya karena berpotensi menumpulkan nalar kritis, mengikis imajinasi moral, dan menjauhkan manusia dari kesejatian dirinya.

“Waktu kita banyak tersita oleh algoritma, oleh rutinitas administratif, tetapi justru sedikit sekali untuk perkara yang penting, yakni, berpikir, berdialog dengan nurani, dan memelihara imajinasi,” ungkap Rizal dalam kegiatan refleksi pendidikan bertajuk 'Ngkaji Pendidikan', Sabtu (30/8/2025) yang dihadiri oleh 650 peserta dari berbagai daerah di Indonesia.

Fenomena ketidakberpikiran ini bukan hanya terjadi di sekolah, tetapi juga tampak dalam kehidupan sosial dan politik. Di publik misalnya, kita kerap dibuat geram oleh perilaku wakil rakyat, mulai dari mengusulkan kenaikan tunjangan dan pajak di tengah sulitnya ekonomi rakyat, korupsi yang makin merajalela, komentar serta sikap arogan yang menunjukkan kemewahan atau kekuasaan kelas atas sampai menyakiti perasaan rakyat di bawah, hingga aksi aparat yang justru melukai rasa keadilan dengan tindakan represif sampai menimbulkan kematian.

Di sisi lain, kesenjangan sosial-ekonomi masih menganga, yaitu lapangan kerja yang terbatas, kenaikan harga kebutuhan pokok, dan akses pendidikan yang belum merata menjadi tanda bahwa bangsa ini menghadapi tantangan serius.

Dalam konteks itu, GSM mengingatkan bahwa pendidikan harus menjadi benteng peradaban yang tidak sekadar menyiapkan keterampilan teknis, melainkan melahirkan manusia yang mampu berpikir merdeka, berimajinasi moral, dan bertindak autentik.

“Jika guru hanya mengajukan pertanyaan sebatas apa yang tercantum di buku teks atau kurikulum, melarang murid yang mempertanyakan keadaan karena dianggap mengganggu alur pelajaran, maka murid hanya akan tumbuh menjadi pengikut, bukan pencipta. Padahal bangsa ini membutuhkan generasi yang autentik, berani, dan visioner,” ujarnya.

Di tengah krisis sosial dan politik, guru tetap memiliki energi moral untuk menyalakan cahaya harapan. Melalui imajinasi moral dan keberanian autentik, mereka menjadi benteng agar generasi muda Indonesia tumbuh sebagai manusia merdeka yang siap menjawab tantangan zaman.

Di hadapan ratusan guru, Rizal melontarkan sebuah pertanyaan reflektif yang menusuk, “Adanya oknum-oknum yang menyebabkan masalah di bangsa Indonesia, jangan-jangan itu semua warisan kita sebagai pendidik, ketika kita tidak menanamkan keberpikiran dan hilangnya kesejatian diri," katanya.

“Pendidikan bukan semata-mata soal kurikulum atau pencapaian akademik, melainkan soal membentuk manusia yang bertauhid dan berperikemanusiaan, agar memiliki arah hidup, rasa empati kepada sosial dan lingkungan alam serta daya cipta. Bila sekolah justru menumbuhkan ketaatan buta pada aturan maka lahirlah generasi yang kehilangan nurani," ujarnya.

Ia menyinggung kembali pelajaran tragis dari sejarah kisah Adolf Eichmann, birokrat Nazi yang dalam Eichmann in Jerusalem (1961) digambarkan Hannah Arendt sebagai manusia biasa yang taat dan saleh, tetapi gagal berdialog dengan batinnya. Ia menjadi mesin genosida, bukan karena kebencian mendalam, melainkan karena ketidakberpikiran yang membuatnya sekadar menjalankan perintah tanpa refleksi moral (olah roso).

“Ketidakberpikiran itu monster. Ia bisa lahir di ruang kelas ketika guru hanya mengulang rutinitas, atau di birokrasi ketika aparat terjebak hierarki tanpa makna. Jika dibiarkan, ia akan  menghancurkan masa depan murid-murid kita," ujar Rizal.

Kritik juga diarahkan oleh Rizal terhadap birokrat pendidikan, “Menggenggam hierarki dan prosedur tanpa makna itu bahaya. Ketaatan buta membuat kita semua terjebak menyerahkan tanggung jawab berpikir pada aturan, mematikan perasaan, kreativitas serta terjebak pada ilusi moralitas pada kepatuhan yang bisa saja tidak adil pada murid atau guru. Bapak-ibu dinas dan pengawas seharusnya membuka ruang dialog, bukan sekadar ruang perintah," katanya.

Rizal lalu menekankan bahwa belajar adalah tindakan moral. Ketika guru tidak mengajak muridnya berpikir, berimajinasi, dan berefleksi, maka sesungguhnya mereka keluar dari ranah moralitas, meski semua itu dilakukan atas nama kurikulum. “Apakah itu merdeka yang diharapkan Soekarno dan Hatta?” tanyanya secara retoris.

Sebagai jalan keluar, Rizal mengajukan dua fondasi, yaitu dialog batin dan imajinasi moral. Dialog batin mengajarkan manusia untuk mempertanyakan diri, tentang benar atau tidaknya sebuah tindakan. Sementara imajinasi moral mengajak guru melihat dunia dari perspektif murid, sehingga penghargaan terhadap anak tidak lagi diukur sekadar dari angka rapor.

Ketika dialog batin dan imajinasi moral berpadu dengan natalitas dan ruang yang plural, maka lahirlah tindakan autentik. Natalitas adalah kesadaran bahwa setiap anak membawa potensi kelahiran sesuatu yang baru. Sementara itu, ruang yang plural adalah sebuah ruang yang menghargai perbedaan dan kesetaraan, maka lahirlah tindakan autentik. Inilah yang dibutuhkan Indonesia.

Untuk menegaskan pesannya, Rizal mengangkat teladan Siti Soendari Darmobroto, guru sekaligus wartawan yang berani memperjuangkan pendidikan kaum pribumi, nasib perempuan, dan melawan kolonialisme. Di tengah dominasi feodalisme dan patriarki, ia berani melawan arus.

“Bayangkan, di Kongres Pemuda 1928, Siti Soendari sudah membayangkan Indonesia merdeka dengan imajinasinya sendiri, bukan Indonesia buatan penjajahan Belanda. Itu karena ia berani berdialog dengan batinnya dan setia pada imajinasi moralnya, bukan pada iming-iming jabatan oleh kolonial,” tutur Rizal.

Acara Ngkaji Pendidikan ini dibuka dengan monolog seorang siswa yang digambarkan berasal dari masa depan. Momen tersebut menjadi sebuah pengingat bahwa bila pendidikan terus terjebak dalam krisis, generasi mendatanglah yang akan menanggungnya. Tayangan prolog ditutup dengan sebuah pesan, bahwa harapan selalu ada, selama guru mau mengambil peran dan bertanggung jawab atas sejarah.

Ngkaji Pendidikan di Tangerang Selatan berhasil berjalan karena adanya gotong royong dari anggota komunitasnya. Mereka mencari sponsorship secara mandiri, serta mengajak para pegiat GSM untuk mau urun dana. Acara tersebut diadakan dalam rangka mewujudkan misi dari GSM Tangerang Selatan yang ingin mendorong perubahan pendidikan di kotanya.

Seorang peserta, Ibu Yayah, guru SD dari Cirebon, menyimpulkan refleksinya, “Ngkaji Pendidikan membuat kami berpikir ulang. Pendidikan seperti apa yang ingin kita wariskan? Mungkin guru tidak turun ke jalan, tetapi energi kami disalurkan dalam diskusi, ide, dan refleksi yang tidak kalah revolusioner.”

Di tengah negeri yang diguncang krisis sosial dan politik, GSM mengingatkan bahwa masa depan bangsa tidak ditentukan oleh algoritma atau birokrasi, tetapi oleh guru yang berani berpikir, merasa dengan empatik, berimajinasi, dan bertindak secara autentik.

Read Entire Article