
Lonjakan harga cabai dalam dua pekan terakhir di Sumut membuat petani mendulang keuntungan besar. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) per 3 September, harga cabai merah rata-rata Rp59.450 per kilogram dan cabai rawit Rp53.200 per kilogram.
Dari pengamatan di lapangan, cabai hijau bahkan ada yang dijual Rp60.000 per kilogram. Harga cabai saat ini dinilai cukup mahal dan jauh di atas harga keekonomiannya.
Kondisi tersebut memberi keuntungan signifikan bagi petani, tetapi risiko kerugian tetap membayangi bila harga kembali jatuh. Meski tengah menikmati harga tinggi, sejumlah petani justru berencana mengganti tanaman cabai mereka dengan bawang merah.
Rencana itu muncul setelah beberapa kali mengalami kerugian pada musim panen tahun ini, bahkan sampai dua kali. Petani yang pernah rugi pada panen sebelumnya kini mempertimbangkan serius untuk beralih ke bawang merah.
"Pergeseran ini bisa berisiko pada stabilitas harga pangan ke depan," ujar Gunawan Benjamin, Ekonom Universitas Islam Sumatera Utara, Rabu (3/9).
Pemerintah diminta mewaspadai perubahan pola tanam ini. Jika petani di Sumut mengganti cabai dengan bawang merah, maka harga bawang merah berpotensi jatuh akibat pasokan melimpah.
Hal itu akan terjadi jika tidak diikuti pengurangan produksi bawang dari Jawa maupun sentra lain, seperti Solok, Sumatra Barat. Sebaliknya, berkurangnya pasokan cabai akan mendorong harga kembali melambung. Kondisi ini bisa menjadi ancaman serius bagi inflasi mengingat cabai termasuk komoditas pangan dengan bobot besar dalam keranjang inflasi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi Sumut pada Agustus 2025 sebesar 1,37% secara bulanan dan 4,42% secara tahunan. Inflasi tersebut dipicu terutama oleh kenaikan harga pangan, termasuk cabai yang menjadi salah satu komoditas dominan.
Di Batu Bara, misalnya, petani di Lubuk Cuik mempertimbangkan beralih ke bawang merah. Jika perubahan itu dilakukan secara luas, harga cabai merah pada kuartal pertama 2026 berpotensi kembali melonjak.
Sejauh ini belum ada data detail terkait realisasi rencana pindah tanam tersebut. Namun perubahan pola tanam berisiko membuat sistem produksi pangan menjadi kacau, apalagi bila dilakukan serentak di lumbung cabai utama.
Petani selama ini cenderung menjadikan harga jual saat panen sebagai tolok ukur untuk musim tanam berikutnya. Pergeseran komoditas yang besar bisa menimbulkan ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan.
Gunawan menilai akar persoalan terletak pada tekanan harga yang dipengaruhi permintaan dan faktor cuaca. Karena itu, menurut dia, pemerintah sebaiknya melakukan pendekatan agar petani konsisten menjaga pola dan jenis tanaman sehingga keseimbangan pasokan pangan tetap terjaga. (H-1)