
KEMENTERIAN Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), menyelenggarakan Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) Tahun 2025 untuk genre puisi. Kegiatan yang berlangsung di Jakarta, pada 1 s.d. 5 September 2025 ini diikuti 22 peserta dari tiga negara, terdiri atas 18 peserta Indonesia, dua peserta dari Brunei Darussalam, dan dua lainnya Malaysia. Tahun ini, peserta yang terpilih merupakan penulis berpengalaman dengan usia maksimal 35 tahun.
Program Penulisan Mastera 2025 secara resmi dibuka oleh Kepala Badan Bahasa, Hafidz Muksin. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa meskipun kata “sastra” tidak tercantum dalam penjenamaan Lembaga Badan Bahasa, sastra tetap menjadi bagian penting dalam tugas dan fungsi Badan Bahasa. “Bahasa tanpa sastra seperti mata uang tanpa nilai. Sastra dapat memperhalus rasa, mewujudkan asa, dan meneguhkan makna,” ujar Hafidz Muksin, di Jakarta, Kamis (4/9).
Hafidz berharap kegiatan ini melahirkan alumni unggul di bidang penulisan puisi serta menegaskan komitmen Badan Bahasa untuk menyiapkan kelas penulisan tingkat lanjut agar alumni dapat menjadi pembimbing bagi generasi penulis baru. Selain itu, Hafidz juga mengingatkan tentang pentingnya menjaga bahasa sebagai bagian dari kedaulatan bangsa.
“Sejarah membuktikan perjuangan bangsa Indonesia yang diinisiasi oleh komitmen pada satu Bahasa yaitu Bahasa Indonesia. Karena itu, mari kita jaga bahasa bangsa, sebab kedaulatan bangsa sangat ditopang oleh kedaulatan bahasa,” tutur Hafidz.
Sementara itu, Sekretaris Badan Bahasa sekaligus Sekretaris Mastera Indonesia, Ganjar Harimansyah, menjelaskan bahwa kegiatan ini difokuskan pada pertukaran pengalaman kreatif antara peserta dan pembimbing. Forum ini menjadi ruang interaksi, komunikasi, dan bedah karya yang diharapkan memperkuat jejaring penulis di Asia Tenggara.
“Mastera yang melibatkan Brunei Darussalam, Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Singapura sudah lama berdiri dengan agenda strategis memperkenalkan karya masing-masing negara serta mengkajinya secara bersama,” ujar Ganjar.
Selanjutnya, pembimbing asal Malaysia, Encik Zainal Bin Palit, menyampaikan bahwa ikatan batin antarpeserta adalah inti pertemuan Mastera. Harapannya, di ruang ini kita saling berkenalan dengan hati, jiwa, dan puisi. Ikatan batin itulah yang paling kuat dan tak kasat mata. “Peserta perlu mengutip apa yang bisa dikutip, bukan hanya dari pembimbing, tetapi juga dari sesama peserta,” ucap Encik.
Pandangan serupa datang dari pembimbing Brunei Darussalam, Mohd. Noor Sham, yang menilai ruang Mastera sebagai wadah untuk saling mengenal, berbagi, dan memurnikan nilai kesusastraan.
Turut mendampingi pembimbing dari Indonesia, yakni Nenden Lilis Aisyah, Cecep Syamsul Hari, dan Agus R. Sarjono. Secara tegas Agus mengatakan bahwa menulis puisi selalu berkaitan dengan kebersamaan. “Hal penting dalam menulis puisi adalah perasaan bahwa kita tidak sendirian. Kesempatan dalam Mastera ini diharapkan dapat menjadi ruang untuk saling mengenal dan menyadari bahwa kita memiliki teman dalam menulis,” ungkapnya.
Peserta dari Sumatra Utara, Titan Sadewo mengungkapkan antusiasmenya dalam mengikuti kegiatan ini. “Selama ini saya hanya mendengar nama sesama rekan peserta melalui buku-buku puisi, media sosial dan Youtube saja. Dengan mengikuti Program Penulisan Mastera ini, saya berkesempatan untuk bertatap muka langsung dengan para penyair yang merupakan rekan sesama Program Penulisan Mastera 2025, ini sanggat membanggakan,” ujar Titan yang berkesempatan mengiringi dengan beatbox penampilan dari sastrawan maestro, Sutardji Calzoum Bachri, di panggung terbuka W.S. Rendra, di Badan Bahasa.
Selanjutnya, selaku penceramah dalam kegiatan ini, Sutardji Calzoum Bachri berbagi pengalaman tentang perjalanan hidupnya. “Puisi dapat lahir dari beragam pengalaman, bahkan dari hal-hal sederhana maupun benda-benda yang konkret. Perjalanan dirinya dari nobody menjadi somebody menjadi bukti nyata bahwa puisi bukan hanya karya seni, tetapi juga jalan yang mampu mengubah hidup dan memberi makna bagi dunia,” paparnya.
Sutardji berpesan, “Seorang penyair tidak boleh menutup mata terhadap kondisi politik yang terjadi di sekitarnya. Namun, sikap yang harus diambil bukanlah dengan cara konfrontatif, melainkan tetap berpegang pada nilai keadilan bagi sesama manusia. Memberi makna melalui puisi ia ibaratkan sebagai bentuk sedekah, yakni menghadirkan nikmat bagi orang lain. Dengan begitu, puisi menjadi sarana untuk menyentuh dan mengalihkan hati, tanpa harus menempuh jalan kekerasan,” pungkasnya.
Program Penulisan Puisi Mastera 2025 ditutup secara resmi oleh Dora Amalia, Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra. Dora juga turut menyampaikan selamat atas terbentuknya Organisasi Alumni Program Penulisan Mastera Tingkat Serantau dan juga Opera Indonesia, yang telah dilantik secara langsung oleh Kepala Badan Bahasa.
“Kami menyampaikan terima kasih kepada penceramah dan para pembimbing yang telah membersamai rangkaian kegiatan Program Penulisan Mastera tahun 2025 ini. Kami berharap kegiatan ini dapat memberikan manfaat yang positif bagi para peserta yang mengikuti kegiatan ini, dan dapat menyebarluaskan kebermanfaatan dari kegiatan ini, khususnya kepada rekan-rekan di masing-masing negara atau pun daerahnya masing-masing,” ungkap Dora.
Acara tahunan yang diselenggarakan oleh Badan Bahasa ini bukan sekadar forum menulis, melainkan momentum yang mempertemukan para penyair muda Asia Tenggara dalam semangat kolaborasi. Dari ruang kecil di Jakarta, gagasan, pengalaman, dan puisi bertemu untuk memperkuat diplomasi pengetahuan melalui agenda kesusastraan. Kegiatan ini juga menjadi wujud nyata upaya meneguhkan bahasa dan sastra sebagai pilar kebudayaan kawasan serta langkah penting menuju penguatan identitas kolektif di tengah tantangan global. (RO/Z-2)