
PERDANA Menteri Prancis Francois Bayrou resmi kehilangan jabatannya setelah kalah dalam mosi tidak percaya di Majelis Nasional pada Senin (8/9). Keputusan ini menambah krisis politik di Paris dan memaksa Presiden Emmanuel Macron mencari pengganti baru atau perdana menteri kelima dalam waktu kurang dari dua tahun.
Bayrou, yang hanya sembilan bulan menjabat, dijadwalkan mengajukan pengunduran diri pada Selasa (9/9). Kantor kepresidenan menyebut penunjukan perdana menteri baru akan dilakukan dalam beberapa hari mendatang.
Krisis Anggaran Jadi Pemicu
Mosi tidak percaya dipicu oleh rencana Bayrou memangkas 44 miliar euro untuk mengurangi beban utang negara. Rencana tersebut ditolak 364 anggota parlemen, sementara 194 lainnya mendukung.
"Anda memiliki kekuatan untuk menjatuhkan pemerintah, tetapi Anda tidak memiliki kekuatan untuk menghapus kenyataan. Kenyataan akan tetap tak tertahankan yakni pengeluaran akan terus meningkat, dan beban utang, yang sudah tak tertahankan, akan semakin berat dan mahal," kata Bayrou memperingatkan sebelum pemungutan suara seperti dikutip Al Jazeera, Selasa (9/9).
Dengan kekalahan ini, pemimpin berusia 74 tahun itu menjadi perdana menteri keenam yang gagal bertahan di bawah kepemimpinan Macron sejak 2017.
Tekanan Politik dari Kiri dan Kanan
Kubu oposisi menilai rencana pemotongan anggaran tidak adil karena membebani kelompok masyarakat termiskin. Bahkan sebagian konservatif yang sebelumnya mendukung Bayrou berbalik menolak.
"Macron sekarang berada di garis depan menghadapi rakyat. Dia juga harus pergi." Sementara itu, Marine Le Pen mendesak digelarnya pemilu cepat dengan menyebut momen ini sebagai akhir dari pemerintahan hantu," kata Jean-Luc Melenchon, pemimpin France Unbowed di X.
Sejumlah pengamat menyebut kekalahan Bayrou sebagai hari yang sangat buruk dan momen memalukan lainnya bagi Macron. Ini menjadi kali kedua dalam setahun seorang perdana menteri tersingkir lewat parlemen, setelah Michel Barnier yang hanya bertahan tiga bulan.
Macron dalam Posisi Serba Sulit
Kini Macron menghadapi pilihan terbatas. Hugo Drochon dari Universitas Nottingham menilai presiden harus memutuskan apakah akan menunjuk tokoh kanan-tengah atau mencoba menggandeng kaum sosialis, yang sama-sama berisiko menimbulkan kompromi politik besar.
"Kekhawatiran terbesar, setidaknya dari pasar keuangan, bukanlah apa yang akan dilakukan, tetapi apakah sesuatu akan dilakukan. Mereka menginginkan perdana menteri dan anggaran yang benar-benar mengatasi masalah-masalah ini," ujarnya.
Jika Macron gagal segera bertindak, Prancis dikhawatirkan terjerumus pada kebuntuan politik lebih dalam, di tengah meningkatnya kemarahan publik dan ancaman aksi protes serta pemogokan.
Tantangan Pemerintahan Baru
Siapa pun pengganti Bayrou, tugas terbesarnya adalah meloloskan rancangan anggaran di parlemen yang semakin terbelah. Tantangan serupa sebelumnya yang menenggelamkan Bayrou kini kembali menunggu.
Meski didesak oposisi untuk mundur, Macron menegaskan tidak akan membubarkan parlemen. Ia memilih bertahan dan bersiap menghadapi pertempuran politik berikutnya. (Fer/I-1)