(MI/Seno)
BAYANGKAN di suatu pagi di sebuah puskesmas, antrean sudah mengular sejak matahari belum tinggi. Ada ibu-ibu yang datang sambil menggendong balita, bapak-bapak yang mengambil cuti kerja, hingga kelompok lansia yang dituntun keluarga mereka. Mereka semua datang untuk mengikuti cek kesehatan gratis (CKG), sebuah program nasional yang digadang-gadang sebagai terobosan besar pemerintah dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.
Bagi banyak orang, program itu memberikan harapan. Siapa yang tidak tertarik; ketika kebanyakan pemeriksaan kesehatan membebani dompet, program itu bisa didapatkan tanpa biaya. Namun, di balik antusiasme masyarakat, muncul sejumlah pertanyaan penting: seberapa efektif program ini? Apakah hasil skrining benar-benar ditindaklanjuti? Apakah fasilitas yang ada siap melaksanakan program massal ini secara efektif? Bagaimana dengan perlindungan data dari hasil pemeriksaan tersebut yang jumlahnya bisa mencapai miliaran data?
UPAYA RAKSASA
CKG bukan sekadar cek kesehatan biasa. Pemerintah menyusunnya berdasarkan kelompok umur sehingga setiap orang mendapatkan pemeriksaan sesuai dengan risiko kesehatan masing-masing. Ini yang disebut risk priority. Pada bayi baru lahir, skrining mencakup hormon tiroid, G6PD, hingga deteksi dini penyakit jantung bawaan. Lanjut ke balita dan anak prasekolah, pemeriksaan meliputi pendengaran, gigi, talasemia, tuberkulosis, hingga tanda awal diabetes. Remaja dan orang dewasa mendapat skrining penyakit jantung, paru, kanker tertentu, serta tuberkulosis.
Sementara itu, kelompok lansia, fokusnya bergeser pada kesehatan jantung, kesehatan mental, penuaan, dan risiko penyakit kronis lainnya. Ini pendekatan kesehatan yang mengikuti 'siklus hidup'. CKG dijalankan di puskesmas dan klinik terakreditasi. Seluruh data terhubung ke platform SatuSehat sehingga peserta bisa melihat hasil secara digital. Hingga kini, 12 juta warga Indonesia sudah mengikuti program ini.
Esensi CKG ialah skrining atau deteksi dini. WHO memang selalu menekankan pentingnya deteksi dini karena 70% beban penyakit global berasal dari penyakit kronis. Mencegahnya jauh lebih murah daripada mengobati. Jadi, secara subtansi, program ini memang rasional dan reasonable. Namun, ini tidak secara otomatis menjamin hasil bermanfaat atau besar. Banyak faktor pengganggu dan penghambat.
BELAJAR DARI NEGARA LAIN
Indonesia bukan negara pertama yang mencoba program skrining nasional. Banyak negara sudah memulainya lebih dulu dengan hasil yang bervariasi. Inggris, misalnya, mengadakan program bernama NHS Health Check untuk warga usia 40-74 tahun. Pemeriksaan dilakukan setiap lima tahun dan fokus pada risiko penyakit jantung. Sayangnya, meski programnya bagus, tingkat partisipasinya rendah; bahkan hanya mencapai 9%-20% berdasarkan beberapa studi. Ini menunjukkan bahwa program kesehatan sebesar apa pun tidak otomatis membuat masyarakat berbondong-bondong datang.
Amerika Serikat punya pendekatan berbeda. Tidak ada skrining nasional. Namun, program Medicare Annual Wellness Visit memberikan pemeriksaan pencegahan bagi warga 65 tahun ke atas. Yang menarik, fokusnya bukan hanya pemeriksaan fisik lengkap, melainkan juga penilaian risiko, skrining depresi, rencana pencegahan personal, serta vaksinasi. Pendekatan ini menunjukkan bahwa perawatan kesehatan bukan hanya soal 'tes', melainkan juga apa yang harus dilakukan setelahnya.
Jepang punya sistem berbeda. Perusahaan di sana wajib menyediakan pemeriksaan kesehatan untuk karyawan, sedangkan masyarakat umum mendapat subsidi khusus. Bahkan, ada pemeriksaan komprehensif bernama Ningen Dock yang mencakup pemeriksaan MRI dan CT scan, diikuti oleh 3,7 juta orang setiap tahun. Semua ini dilakukan karena Jepang sangat serius mencegah penyakit gaya hidup.
POTENSI KEKUATAN
Mari kita akui, jika dibandingkan dengan banyak negara lain, CKG punya beberapa kelebihan. Pertama, gratis. Tidak semua negara berani menggratiskan skrining besar. Apalagi mencakup ratusan juta penduduk. Hal ini jelas meningkatkan pemerataan skrining dan layanan. Bayangkan keluarga dengan penghasilan pas-pasan; mereka tentu merasa terbantu karena dapat menjalani skrining dasar yang biasanya menelan biaya.
Kedua, berbasis puskesmas. Indonesia memiliki jaringan puskesmas yang luas dan merupakan tulang punggung sistem kesehatan nasional. Dengan memanfaatkan fasilitas ini, cakupan program relatif mudah diperluas, bahkan ke wilayah terpencil.
Ketiga, digitalisasi. Integrasi SatuSehat membantu menyatukan data, mempercepat proses, dan memberikan hasil kepada peserta dengan cepat. Ini langkah modern yang perlu diapresiasi.
Keempat, skala nasional. CKG bukan program kecil atau percobaan terbatas. Komitmen politiknya tinggi dan ini penting dalam mendorong kesehatan preventif.
TANTANGAN
Setiap hal baru, apalagi yang memiliki kekhususan dan kekuatan, tentu berhadapan dengan tantangan. Program CKG menghadapi setidaknya empat tantangan serius.
Pertama, masalah akses digital. Tidak semua warga Indonesia punya smartphone. Tidak semua punya internet. Tidak semua bisa mengoperasikan aplikasi. Kelompok lansia, penduduk terpencil, dan masyarakat miskin menjadi kelompok yang paling rentan terpinggirkan terkait dengan program berbasis digital ini. Jika pendaftaran terlalu bergantung pada SatuSehat, program yang bertujuan 'merata' justru bisa menjadi tidak merata. Yang mendapat keuntungan paling besar adalah mereka yang memiliki akses adekuat terhadap perangkat digital, sedangkan mereka yang tidak memilikinya akan tertinggal di belakang.
Kedua, beban tenaga kesehatan. Puskesmas sudah memiliki beban kerja berat: imunisasi, kesehatan ibu dan anak, TBC, malaria, kesehatan lingkungan, pemeriksaan rutin, hingga program sekolah. Karena padatnya beban mereka, sering kali satu staf puskesmas memiliki kerja ganda. Seorang juru imunisasi tidak jarang ditugaskan juga pada bagian obat-obatan atau pelayanan gawat darurat.
Ketika ratusan orang datang untuk skrining massal, petugas kini berhadapan dengan tugas tambahan. Ini menyebabkan waktu tunggu memanjang, waktu pelayanan berkurang, dan kualitas pelayanan bisa turun. Petugas dapat menjadi overload dan mengalami burnout. Kelelahan tenaga kesehatan adalah isu serius yang sering luput dari perhatian pembuat kebijakan.
Ketiga, tindak lanjut yang belum jelas dan adekuat. Ini masalah paling krusial. Skrining hanyalah langkah pertama untuk mendeteksi kemungkinan adanya penyakit. Yang menentukan keberhasilan skrining adalah apa yang terjadi setelahnya. Apakah hasil skrining di-follow-up atau tidak, apakah masyarakat yang terdeteksi penyakit diobati atau tidak. Ini merupakan masalah besar karena negeri ini sering gagal dalam isu follow-up ini.
Sebagai contoh, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa tindak lanjut untuk pasien diabetes yang dideteksi skrining hanya 1,9%. Artinya, dari 100 orang yang terdeteksi menderita diabetes, hanya 1–2 yang ditindaklanjuti. Ini tentu mengecewakan. Jika pada penyakit diabetes saja follow-up rate-nya begitu rendah, bagaimana dengan penyakit jantung dan kanker? Berapa banyak di antara mereka yang tidak akan ditindaklanjuti?
Tanpa tindak lanjut, skrining hanya memberikan kecemasan, bukan solusi. Bayangkan seseorang yang diberitahu bahwa ia berisiko mengalami penyakit jantung, tetapi obat BPJS tidak tersedia, rujukan lama, dan konsultasi dokter terbatas. Ia akan pulang membawa beban lebih berat daripada saat datang.
Keempat, fasilitas pemeriksaan yang belum merata. Tidak semua puskesmas punya alat laboratorium memadai. Tidak semua punya reagen. Bahkan, beberapa hanya mampu melakukan skrining sederhana yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kegiatan posbindu di masa lalu. Jika kualitas pemeriksaan tidak ditingkatkan, CKG bisa menjadi 'program besar dengan hasil kecil'.
CKG JANGAN SEKADAR ANGKA
Ada beberapa langkah yang dapat memperkuat program ini. Pertama, sediakan jalur pendaftaran manual. Jangan hanya digital. Pendaftaran mestinya bisa dilakukan melalui telepon, RT/RW, posyandu, atau kantor desa. Jangan memaksa semua warga menggunakan smartphone.
Kedua, tambah tenaga kesehatan sementara. Pemerintah bisa merekrut tenaga kontrak selama periode skrining atau membuka layanan sore/malam seperti yang dilakukan beberapa negara.
Ketiga, buat protokol rujukan yang jelas. Pemerintah perlu memastikan bahwa peserta yang didiagnosis menderita penyakit pada skrining mesti diberikan follow-up, termasuk jalur mudah menuju pengobatan. Bila perlu, ada sistem yang menghubungkan skrining dengan fasilitas BPJS, termasuk juga memastikan ketersediaan obat.
...
2 weeks ago
15





















:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5379583/original/008279300_1760351169-Artboard_1_copy.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5378189/original/057508300_1760218015-AP25284765147801__1_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5348124/original/066186800_1757768591-persebaya.jpg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5367784/original/099774300_1759313808-Sherhan-Kalmurza.jpg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5377650/original/070250500_1760140104-AP25283706908321.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5325476/original/093684600_1755998966-MPL_ID_S16_01.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5277047/original/083807100_1751975773-Sakit_mag.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5369643/original/010833600_1759476021-IMG-20251003-WA0016.jpg)


![[Kolom Pakar] Prof Tjandra Yoga Aditama: Wamenkes Baru dan Eliminasi Tuberkulosis](https://cdn1-production-images-kly.akamaized.net/y0KuB7erhDJ6TbtDuKZCqONsZYw=/1200x675/smart/filters:quality(75):strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5376817/original/095760700_1760054336-WhatsApp_Image_2025-10-09_at_4.52.47_PM.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5376773/original/003374000_1760018952-yaniv-knobel-UvkIx6DMTMk-unsplash.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4975262/original/049835800_1729563717-trombosit-adalah.jpg)
English (US) ·